ANALISIS 3 BUKU AGRARIA (2)

Disini penulis akan menganalisis tiga buku yaitu;
1. Sengketa Agraria (Pengusaha Perkebunan Melawan Petani). Penulis  Karl J. Pelzer.
2. Land Reform & Gerakan Agraria Indonesia “The Resurgence of Land Reform Policy and Agrarian Movements in Indonesia” hasil disertasi Univercity of California, Berkeley,2011). Pengarang : Noer Fauzi Rachman.
3. Landform Dan Gerakan Protes Petani Di Klaten 1959-1965. Penulis  Soegijanto Padmo.

Berikut merupakan isi atau inti dari ketiga buku;
1. Dalam buku Sengketa Agraria (Pengusaha Perkebunan Melawan Petani) di dalamnya dijelaskan tentang suatu fenomena khusus yang sering mengimplikasikan masalah-masalah yang jauh lebih dalam. Fenomena sengketa pertanahan, misalnya, mengimplikasikan masalah seperti perubahan yuridis menyangkut undang-undang pemilikan tanah, perubahan teknologis berkenaan dengan metode pertanian, perubahan ekonomi menyangkut penanaman modal, pemasaran dan ketenagakerjaan, perubahan politik menyangkut hubungan kekuasaan, perubahan sosiologis berhubungan dengan struktur masyarakat, dan perubahan kultural yang berkenaan dengan pemahaman diri. Sengketa agraria antara pengusaha perkebunan melawan petani, tidak bisa atau tidak harus dilihat sebagai akibat dari konstelasi kompleksitas permasalahan tersebut di atas, yang semuanya itu dapat dikembalikan ke satu masalah inti yaitu masalah yuridis: “siapa yang berhak dan hak apa yang dapat dilaksanakannya” – suatu masalah yang tidak pernah terselesaikan dengan tuntas.

2. Buku Land Reform & Gerakan Agraria Indonesia “The Resurgence of Land Reform Policy and Agrarian Movements in Indonesia” buku ini merekam lintasan perjalanan land reform semenjak Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945. Land reform, salah satu amanat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), dibekukan selama Orde Baru. Di masa akhir rezim otoriter Suharto itu, disusul pula pada rezim-rezim sesudahnya, mandat tersebut dihidupkan kembali oleh kekuatan gerakan-gerakan agraria, para intelektual publik dan para pejabat yang peduli pada nasib rakyat miskin pedesaan. Buku ini menunjukkan secara etnografis bagaimana cara-cara mereka berupaya membangkitkan land reform menjadi suatu program nasional untuk mewujudkan cita-cita keadilan sosial. Lahirnya kebijakan land reform setelah lengsernya Presiden Republik Indonesia terla,a, Soeharto, pada 1998. Pada bab 2 menjelaskan tentang warisan politik agrarian colonial diubah dan dilanjutkan. Disini juga membahas akan politik agrarian di era Demokrasi Terpimpin yang menjadi peletak dasar utama bagi pengesahan UUPA. UUPA merupakan tonggak berupa kebijakan land reform yang berlangsung hingga saat ini. Selanjutnya pada bab 3 melacak bagaimana perubahan dalam lintasan perjalanan kebijakan pertanahan Indoensia sejak kemunculan rezim otoriter-militeristis di bawah Presiden Soeharto pada 1966 yang secara drastic membekukan kebijakan land reform. Kebijakan pengadaan tanah disahkan untuk memfasilitasi proyek-proyek pemerintah maupun swasta di sector-sektor pertanian, kehutanan, industry dan pemukiman. Pada bab ini juga menunjukkan bagaimana UUPA telah menjadi pusat perdebatan panas antara aktivis agraria, pakar kritis, dan pejabat berhaluan reformis, khususnya tentang apakah UUPA perlu direvisi atau sudah bisa dianggap sebagai dasar yang memadai kebijakan land reform yang baru.
Bab 4 berfokus pada kelahiran land reform dalam arena kebijakan resmi pemerintah, juga menyikapi proses-proses kebijakan land reform yang berlangsung di BPN. Memperlihatkan pergeseran politis dari Reforma Agraria menuju legalisasi pemilik tanah, yang justru mencerminkan ortodoksi hegemonic kebijkaan tanah neoliberal yang pada mulanya digagas World Bank. Bab 5 berfokus pada berbagai ketegangan dan sinergi antara BPN dan gerakan-gerakan Agraria. Dalamnya juga adanya arena “pertentangan, negoisasi, dan perjuangan kekuasaan” dalam proses kebijakan-kebijakan yang dihasulkan melalui aksi para aktivis agrarian dan pejabat pemerintah. Relasi sinergi mulai berubah ketika BPN mengalihkan fokusnya pada legalisasi pemilik tanah. Pada bab 6 menggambarkan operasi represif yang dimonitori oleh perhutani bersama Polda Jawa Barat, Pemerintah Daerah, dan pihak-pihak lain pada tahun 2008 untuk melawan SPP dan para petani yang mengokupasi lahan yang dikuasai dan dikelola Perhutani di lima desa di Kecamatan Cigugur, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat.

3. Dalam buku Landform Dan Gerakan Protes Petani Di Klaten 1959-1965 membahas tentang konflik pertanahan yang terjadi di daerah Klaten. Dalam masyarakat Klaten, stratifikasi sosial dapat digolongkan menjadi beberapa lapisan. Lapisan tertinggi disebut kuli kenceng yaitu seseorang yang memiliki sebidang tanah pekarangan dan sawah. Setingkat dibawahnya adalah kuli setengah kenceng yang hanya memiliki sebidang pekarangan saja. Setingkat di bawahnya lagi adalah kuli gundul, yaitu seseorang yang hanya memiliki sawah saja. Dalam masyarakat Klaten sering terjadi mobilitas sosial. Mobilitas sosial yang sering tampak adalah mobilitas vertikal, yaitu perpindahan status seseorang dari yang rendah ke status sosial yang tinggi ataupun sebaliknya. Contohnya, seseorang yang berstatus pengidung dapat membeli sebidang tanah pekarangan, maka orang itu berubah statusnya menjadi kuli setengah kenceng.
Di antara bentuk-bentuk penguasaan tanah untuk sementara, lembaga bagi hasil adalah yang paling tua. Beberapa bentuk penguasaan tanah untuk semntara di daerah Klaten yang masih ada adalah lembaga persewaan dan nagi hasil sedangkan lebmbaga gadai sudah jarang dijumpai. Di dalam penguasaan tanah ini, sering terjadi pemerasan oleh pihak yang kuat ekonominya atas petani miskin. Sehingga pemerintah berusaha untuk menghilangkan penguasaan tanah untuk sementara ini yang dikenal dengan nama landform. Dengan landform pemerintah berusaha meningkatkan taraf hidup petani. Cara yang ditempuh antara lain menciptakan keseimbangan di alam penguasaan tanah, mengusahakan agar produksi pertanian setinggi mungkin, serta di dlm pembagian hasil pertanian agar dilaksanakan dengan adil.
Pada tahun 1960-1965 di daerah Klaten timbul gerakan petani. Pada awal tahun 1960-an penetangan yang duilakukan oleh petani lebih banyak ditujukan kepada pemerintah, sedangkan pada tahun 1964-1965 sasaran gerakan lebih banyak ditujukan kepada tuan tanah.  Para petani dalam melakukan aksinya dilakukan secara berkelompok. Alasan gerakan tersebut karena uang sewa yang terlalu rendah. Sebeluim melakukan gerakan, beberapa petani datang ke rumah tuan tanah untuk memaksakan keinginannya. Karena dengan melewati prosedur resmi kelompok petani tidak mungkin memperoleh persetujuan, maka mereka menempuh cara kekerasan, sehingga gerakan ini disebut dengan aksi sefihak atau aksef. Gerakan petani mendapat pengaruh dari organisasi politik. Sedikit petani yang menyadari bahwa tindakannya ini juga mendapat pengaruh dari BTI. Akan tetapi tidak semua pelaku gerakan adalah anggota BTI.

Hasil analisis dari ketiga buku;
Dari ketiga buku diatas ada beberapa pembahasan yang sama yaitu sama-sama membahas tentang beberapa masalah pertanahan yang terjadi di beberapa daerah yang ada di Indonesia. Dalam buku pertama membahas tentang beberapa permasalahan persengketaan tanah dimana menyebabkan sosiologis hubungan masyarakat tidak baik dan menimbulkan beberapa perubahan cultural dalam kehidupan masyarakat. Dalam buku kedua membahas tentang munculnya land reform dan beberapa masalah mengenai pertentangan UUPA. Sedangkan dalam buku ketiga membahas tentang konflik pertanahan yang terjadi di Klaten yang menyebabkan timbulnya lapisan-lapisan dalam kehidupan masyarakat dan terjadinya penguasaan & pemerasan yang dilakukan oleh orang menengah keatas terhadap orang menengah ke bawah hal tersebut memunculkan beberapa gerakan yang dilakukan oleh petani dan munculnya land reform. Dari ketiga buku diatas sama-sama membahas tentang dampak dari adanya beberapa permasalahan pertanahan yang terjadi. Dalam buku ke dua dan ketiga terdapat persamaan yaitu membahas tentang land reform yang terjadi di Indonesia, selain itu juga membahas tentang pertentangan dan gerakan yang dilakukan para petani demi mendapatkan hak atas tanahnya. Dalam buku lain karya S.M.P Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi di dalamnya terdapat pembahasan tentang land reform serta gerakan yang dilakukan atau muncul oleh para petani atau ada yang disebut BTI.

Kesimpulan;
Dari tulisan diatas penulis menyimpulkan bahwa permasalahan pertanahan yang terjadi di Indonesia memang dapat dikatakan tidak ada habisnya. Permasalahan-permasalahan yang terjadi tersebut menimbulkan beberapa factor dalam kehidupan masyarakat misalnya terjadinya stratifikasi social. Dari permasalahan yang terjadi memunculkan beberapa pertentangan dan gerakan dari para petani. Gerakan yang dilakukan para petani merupakan wujud/bentuk ketidak puasan para petani terhadap sistem pertanahan yang ada di Indonesia pada saat itu, kemudian munculah land reform. Tetapi setelah dilihat sampai detik ini permasalahan pertanahan yang ada di Indonesia memang tidak ada habisnya karena tanah memang dapat dikatakan salah satu harta benda yang menjanjikan. Dari ketiga buku diatas memang terdapat persamaan pembahasan akan tetapi juga pasti terdapat perbedaan di dalamnya yang sudah dijabarkan oleh masing-masing penulis buku tersebut.

Komentar

Postingan Populer