REVIEW BUKU "DUA ABAD PENGUASAAN TANAH, Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa"
BAB I
PERUBAHAN SOSIAL DI MADIUN SELAMA
ABAD XIX
Pada
masa sebelum penjajahan dan menurut tradisi mutlak raja adalah satu-satunya
pemilik tanah dalam arti bahwa secara teoritis ialah yang berkuasa atasnya.
Perbedaan kelas antara kaum petani pada saat itu didasarkan atas cara iya
menguasai tanah. Petani yang menguasai tanah di sebut sikep dan ia mempunyai numpang
(tanggungan). Sikep bias
memperoleh tanah itu asal mulanya dari raja baik secara langsung maupun lewat
kaum priyai. Jika raja dan kaum priyai memerlukan tenaga untuk kerja bakti ia
dapat memerintahkan seseorang lurah supaya membentuk tiga orang atau lebih
petani sikep yang diambil dari
penduduk desa. Jika seorang raja memerlukan tenaga atau bantuan untuk
memperluas istana, jalan pengairan atau gedung dan yang lainnya maka kali ini sikep sangat dibutuhkan oleh seorang
raja. Dalam kepemilikan tanah sendiri kekayaan dalam kaum keluarga priyai
berpengaruh atas kedudukan serta penguasaan tanah para pengikutnya. Setelah
belanda masuk ke daerah Madiun, kemudian mendasarkan perdagangannya atas
perjanjian-perjanjian dengan raja-raja dan bupati-bupati yang harus menyerahkan
hasil produksi Jawa kepadanya. Tindakan ini sama halnya dengan cara eksploitasi
ini sebagai campuran antara kompeni kuno (VOC) dengan pajak tanah Raffles. Pajak
tanah Raffles didasarkan atas prinsip bahwa raja-raja Jawa memiliki semua tanah
dan para petani merupakan penyewa yang harus membayar sewa tanah tersebut
kepada raja. Setelah terjadi beberapa perdebatan panjang soal pajak tanah
kemudian pencipta cultuurstelsel memutuskan bahwa pajak ditanggung desa tidak
kepada petani pribumi. Kemudian pada saat itu banyak kaum priyai di Madiun
memilih menyerahkan tanah mereka kepada Negara karena dijanjikan oleh L. de
Launy residen pertama Madiun yang
menjanjikan gaji ganda terhadap kaum priyai. Dalam hal ini pajak tanah lebih
identik dengan kerja bakti karena para petani tidak perlu membayar pajak tanah.
Dengan hal tersebut yang terjadi ialah bahwa pada saat itu di Madiun untuk
pertama kalinya mempraktekkan bahwa Negara merupakan pemilik semua tanah.
BAB II
SISTEM PEMILIKAN TANAH DAN
MASYARAKAT DESA
DI JAWA PADA ABAD XIX
Pulau
Jawa merupakan salah satu pulau yang terpadat penduduknya didunia menurut
sensus pada tahun 1971 yang didalamnya terdapat beberapa tuan-tuan tanah guntai
yang memiliki tanah yang luas. Istilah modern kepemilikan tanah disebut milik
perorangan dan milik komunal. Bentuk-bentuk kepemilikan tanah pertanian antara
lain;
1.
Tanah Sawah
Tanah
pertanian seperti sawah itu ada beberapa
jenis yaitu milik perorangan (turun-temurun), milik komunal (tanah yang
dimiliki desa dimana suatu keluarga menggunakannya tapi tidak dapat menjualnya)
dan tanah bengkok untuk pamong desa (untuk para pejabat yang ada di desa).
Biasanya tanah bengkok termasuk dalam tanah perorangan turun-temurun.
2.
Tanah Kering
Tanah kering
atau tegalan biasanya berkepemilikan perorangan atau turun temurun dan milik
komunal.
Di pulau Jawa juga
terdapat pemindahtanganan tanah dalam artian menjual dan hubungan
sewa-menyewa/penyakapan. Selain itu juga terdapat kepemilikan pekarangan yang
biasanya merupakan kepemilikan secara turun-temurun. Mengenai system kepemilikan
tanah di Jawa pada abad xix dapat diketahui bahwa hubungan penguasaan tanah di
desa-desa dipengaruhi oleh beberapa peraturan komunal desa yang ketat.
Sedangkan hubungan kelas dalam konteks hubungan social komunal desa didasarkan
atas kepemilikan tanah bengkok sebagai turunan dari hubungan social komunal
yang banyak tersebar di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur.
BAB III
DESA NGABLAK
(KABUPATEN PATI) PADA TAHUN 1896 DAN 1929
Pada tahun 1869
tanah-tanah bongkor (liar) dan hutan mulai dibuka/diolah. Banyak lahan
persawahan yang sangat mengoyok luasnya. Pada saat musim kemarau banyak tanah
yang ditanami dengan beberapa tanaman pangan seperti padi, jagung, dan tanaman
lainnya. Kemudian dalam tahun-tahun berikutnya (tahun 1929) banyak sawah
komunal milik desa yang tidak terurus dan dijadikan dalam bentuk baru yang
disebut sawah bondo desa. Tanah-tanah milik perorangan juga banyak yang dijual
seperti pekarangan dan tanah bangunan. Berbagai bentuk kuasa hak ulayat desa
atas sawah komunal, tanah pertanian yang bukan komunal dan pekarangan rumah
telah dihapus dan wewenang pemilik pribumi untuk berkuasa penuh atas miliknya
telah bertambah.
BAB IV
LAND REFORM DI
INDONESIA
Pecahnya
revolusi Indonesia pada bulan Agustus 1945 munculah suatu keinginan yang kuat
diantara pemimpin politik Indonesia untuk mengubah system agraria kolonial yang
dibuat suatu struktur agraria nasional. Akhirnya pada permulaan demokrasi
terpimpin maka anggota fungsional politik menerima UU Pokok Agraria Indonesia
(UU No. 5/1960). Ada beberapa langkah pendahuluan Land reform yaitu percobaan
pertama dilakukan dalam tahun 1945 oleh mentri dalam negeri yang memiliki
tujuan utama yaitu menghapuskan hak-hak istimewa desa perdikan (desa yang
bebas) di Banyumas di Jawa Tengah. Desa bebas
yaitu desa yang bebas dari pajak tanah oleh pendiri desa kepada raja atau
sultan yang berkuasa sebelum atau selama masa penjajahan. Tindakan berikutnya
yang dilakukan dalam skala lebih luas yaitu mencakup tanah-tanah partikelir
atau perkebunan milik pribadi. Hal yang mendasar dari struktur agrarian
nasional dari sector pertanian dalam masyarakat Indonesia adalah Undang-Undang
Agraria. Peraturan dasar Belanda bahwa semua tanah yang atasnya tidak ada pihak
yang mengaku berhak menjadi milik Negara dianggap bertentangan dengan konsep
Negara Indonesia. UU Pokok Agraria dimulai dengan asumsi bahwa Negara tidak
harus bertindak sebagai pemilik tanah manapun tetapi bahwa sebagai penguasa
tertinggi masyarakat, Negara harus mempunyai wewenang untuk mengendalikan hak-hak
dan penggunaan yang efektif dari semua tanah, air, dan angkasa dalam wilayah
lainnya. Selain itu Undang-Undang Penggunaan Tanah ditunjukkan untuk menunjang
rencana pemerintah tentang penggunaan tanah pertanian dalam rangka keseluruhan
rencana pembengunan nasional. UU ini memberikan suatu sarana yang sah untuk
melindungi tanaman yang secara nasional dibutuhkan tetapi secara komersial
tidak menguntungkan terhadap persaingan tanaman yang kurang berfungsi secara
nasional tetapi yang mungkin akan menghasilkan suatu keuntungan keuangan yang
lebih baik. Dengan jalan ini pemilik tanah didaerah otonom tingkat II yang
ditunjuk wajib untuk menyediakan seluruh atau sebagian dari tanahnya atas dasar
sewa-menyewa pada pabrik gula yang diawasi pemerintah untuk produksi gula tebu.
Kemudian UU Perjanjian Bagi Hasil (UU No. 2/1960) dikeluarkan untuk mengawasi
adat kebiasaan dalam bagi hasil baik disawah maupun tanah kering. UU ini memuat
pokok-pokok sebagai berikut; 1) untuk menegakkan keadilan dalam hubungan antara
pemilik tanah dan penggarap, 2) untuk melindungi penggarap yang kedudukannya
biasanya lemah terhadap pemilik tanah yang ekonomis dan lebih kuat, 3) untuk
merangsang penggarap agar berusaha lebih keras menambah produksi.
BAB V
RELEVANSI TEORI MAKRO CHAYANOV UNTUK
KASUS PULAU JAWA
Karya Chayanov A Theory of peasant Economy pada tahun 1966 dimana terdapat
gagasan-gagasan yang telah mempengaruhi satu generasi untuk
cendikiawan-cendikiawan colonial Belanda. Bagi para cendikiawan Belanda yang
bekerja di Jawa, teori mikro Chayanov lah yang berguna. Teori mikro Chayanov
menyangkut logika ekonomi kerja keluarga dan alokasi sumber daya dalam rumah
tangga, sedangkan teori makro membicarakan diferensiasi demografis pada tingkat
masyarakat secara keseluruhan. Menurut Chayanov, defirensiasi demografis
pertumbuhan dan penyebaran keluarga berdasarkan jumlah anggota juga sangat
menentukan penyebaran usaha tani menurut luas tanah yang ditanami dan jumlah
ternak yang digunakan. Gejala deferensiasi demografis ini membentuk suatu
stratifikasi tertentu dalam masyarakat petani.
Pengaruh kolonialisme agraria
Belanda komunitas petani pra-kolonial mengalami perombakan dari dalam. Terutama
pada tahun 1830-1870 dimana pada masa kerja tanam paksa, dimana tanah-tanah
milik masyarakat diambil dan dipaksa untuk bekerja kepada perusahaan-perusahaan
milik colonial. Kebijaksanaan ekonomi colonial telah menghancurkan suatu tata
agraria dimana tanah menjadi milik perorangan atau pribadi. Sejarah atau latar
belakang masalah pertanahan di Jawa dapat diperoleh dari pemahaman tentang
sistem hukum adat Jawa. Dimana pada saat itu Raja merupakan pemilik tunggal.
Dalam beberapa desa setidak-tidaknya dapat ditemukan kelompok-kelompok berikut;
1) kelompok gogol atau warga desa inti. 2) kelompok indung atau yang memiliki
rumah dan tanah, 3) kelompok numpang atau yang tidak mempunyai tanah/kebun.
BAB VI
PENGUASAAN TANAH
DAN STRUKTUR SOSIAL DI PEDESAAN JAWA
Pola penguasaan tanah di Jawa
cenderung berada diantara dua kutub yang berlawanan yaitu antara oemilikan
komunal yang kuat atau hak ulayat dan pemilikan perorangan dengan beberapa hak
istimewa komunal. Tatanan masyarakat pedesaan di Jawa, pola-pola hokum adatnya,
adat-adat kebiasaan, nilai-nilai agama, dan cara bercocok tanam serta cara
penguasaan tanah juga berhubungan dengan nilai-nilai kaum bangsawan yang
bercorak tradisional di kraton-kraton Jawa telah mencapai kestabilan yang
tinggi. Tatanan desa Jawa lebih mengarah ke sosio-ekonomi yang tertutup yang
ditandai dengan pola dan sifat kesetiaan komunal terhadap anggota masyarakat.
Prinsip penguasaan komunal di Jawa hanya terjadi dibeberapa tempat saja, ada
beberapa daerah yang penguasaannya sangat bercorak pribadi misalnya di
Probolinggo, Pasuruan dan Besuki yang berada di Provinsi Jawa Timur. Pada tahun
1953 di Jawa Tengah menunjukkan adanya dua bentuk kepemilikan tanah yaitu satu
bentuk pemilikan tanah bebas dan penggarapan tanah yang dikuasai secara
komunal. Di desa Jatiyoso Jawa Tengah terdapat tiga macam tanah yaitu lungguh
(terdiri atas tanah pertanian), tanah yang diperuntukkan untuk aparat
pemerintah, dan tanah kas desa.
Dalam pembagian hasil dan sewa
menyewa tanah di pedesaan yang ada di Jawa Barat terdapat beberapa bentuk yakni
mertelu (pemilik tanah menanggung biaya benih), merapat, nyeblok atau ngepak,
derep, dan gotong royong. Banyak masyarakat Jawa yang telah mengalami perubahan
structural yang menentukan, hal tersebut tercermin dalam pola penguasaan tanah.
Dapat dikatakan bahwa perubahan yang terjadi tersebut melemahkan system kelas
horizontal tradisional di desa. Dalam sebuah desa terdapat strata social yang
muncul didalamnya, dalam studi kelas yang dilakukan oleh Chandra Bhal Tripathi
di desa terdapat golongan-golongan antara lain; kuli kenceng, kuli kendo,
gundul, magersari, dan mondok empok. Kemudian munculnya Partai Komunis
Indonesia juga mempengaruhi struktur baru kelas masyarakat di desa, dimana
partai ini sangat menekankan fungsi ekonomi dan kepentingan-kepentingan yang
saling bertentangan dari anggota masyarakat desa; 1) golongan tuan tanah, 2)
petani kaya, 3) petani sedang, 4) petani miskin, dan 5) buruh tani tak
bertanah. Agaknya pemilik tanah petani kaya tidak akan dikutak-kutik, sedangkan
milik petani tingkat menengah akan dilindungi oleh pihak pemerintah. Setelah
pemerintah mengambil alih pengawasan partai ini tetap mendesak pemerintah untuk
mendistribusikan tanah-tanah bekas perkebunan Belanda. Adanya ketidak stabilan
politik di Indonesia dan perkembangan ekonomi yang lamban, masalah penguasaan
tanah di Jawa menjadi persoalan yang mudak meledak menjadi lautan apai atau
permasalahan yang serius.
BAB VII
DASAR-DASAR
KONFLIK DI DAERAH PEDESAAN JAWA
Sebelum masuk tahun 1965 polarisasi
dan eksploitasi ekonomi meningkat di daerah pedesaan Jawa yang mengakibatkan
tekanan pada struktur desa tradisional dan mengurangi kemampuannya untuk
berfungsi dengan efisien guna memenuhi kebutuhan penduduk desa. Di sebagian
besar daerah pedesaan Jawa terdapat ketidakserasian antara luas tanah-tanah
milik didalam desa, dimana jumlah antara tanah bengkok, tanah waqaf dan tanah
yang dimiliki oleh tuan tanah tidak seimbang. Terjadi kelangkaan tanah
dikalangan masyarakat dimana hal tersebut diakibatkan oleh adanya kebutuhan
akan uang tunai yang semakin meningkat serta sejumlah besar petani yang tidak
mempunyai tanah maupun yang miskin harus mendapatkan tempat dalam system
produksi. Hal tersebut menentukan syarat-syarat beberapa perubahan dalam
hubungan social pedesaan dan criteria status. Makin buruknya keadaan ekonomi
pedesaan dapat menyebabkan keterikatan hutang, tidak heran banyak beberapa
orang yang memiliki tanah lebih memilih menyewakannya atau bahkan menjualnya.
Hal yang mendasar dalam masyarakat
Jawa ialah orientasi budaya yang berbeda, dimana didalamnya biasanya dibagi
menjadi tiga kelompok besar yaitu; kiyai, santri, dan abangan. Perbedaan ini
telah berkembang dalam masyarakat Jawa melalui proses politisasi yang
menyebabkan timbulnya jurang pemisah budaya dan social yang dalam terutama
antara golongan santri dan abangan. Selain itu faktor-faktor aliran politik
yang ada didaerah pedesaan juga menentukan sifat dan arah konflik di pedesaan.
Permasalahan kritis dalam daerah
pedesaan Jawa pada akhir tahun 1950-an dan awal tahun 1960-an adalah masalah
land reform dan implikasi-implikasi sosialnya. UU land reform sangat
berpengaruh bagi konflik-konflik pertanahan yang muncul di daerah pedesaan
Jawa. Tujuan land reform ialah menjamin hak milik untuk para petani melalui
distribusi tanah, pembatasan hak milik maksimum dan minimum ditetapkan.
Peraturan ini juga menetapkan bahwa orang yang memiliki tanah yang luasnya
melampaui batas maksimum diharuskan melaporkannya pada Dinas Agraria di
kabupaten atau kota yang bersangkutan. Perubahan dan kemerosotan ekonomi yang
terjadi menambah kecenderungan kea rah pemisahan anatara
kepentingan-kepentingan serta fungsi-fungsi yang berhubungan dengan pemilikan
dan penguasaan tanah. Land reform menyebabkan pemisahan yang terjadi semakin
jelas, karena land reform telah mempengaruhi kedudukan penguasa setempat karena
merupakan ancaman terhadap adat setempat dan dengan demikian mengancam penegak
utama dari adat. Di daerah-daerah pedesaan Jawa dimana garis-garis pemisah
social memang telah ada dan untuk sebagian besar telah dilembagakan oleh
organisasi partai politik, land reform memperdalam jurang pemisah tersebut.
Dengan demikian dalam konteks pengorganisasian politik dari penduduk pedesaan
inilah land reform menjadi sumber konflik utama.
Dalam hal land reform BTI (Barisan
Tani Indinesia) merupakan mata rantai organisasi utama antara PKI dengan para
petani walaupun besarnya control kepemimpinan PKI atau bahkan BTI atas
kader-kader pedesaan agaknya berfluktuasi besar. Walaupun organisasi BTI local
dapat dikatakan bersifat gotong royong, kenyataannya bahwa dalam praktik organisasi
ini diatur untuk kepentingan anggota-anggotanya sendiri. Masalah yang timbul
salah satunya ialah timbul dalam perjanjian sewa dan bagi hasil yang menyangkut
serangkaian orang, dan BTI umumnya mendukung orang yang memang berada pada
tingkat paling rendah yaitu orang yang benar-benar menggarap itu. Dalam masalah
ini pemilik telah menyakap/menyewakan tanahnya pada seseorang yang setuju
menggarapnya dan setuju dengan pembagian hasil. Tetapi sang penggarap kemudian
sepengetahuan pemiliknya atau tidak melepaskan tanah itu kembali kepada orang
ketiga atau lebih yang kemudian menggarap tanah itu dan kemudian dibagi dua.
Dengan tersebar luasnya aksi-aksi sepihak, polemic ini dihentikan oleh
Kejaksaan Agung atas perintah Presiden Soekarno yang mengecamnya sebagai alat
pemecah-belah dan berlawanan dengan prinsip persatuan nasional.
Pada masa tersebut juga terjadi
suatu konflik dimana konflik tersebut diekspresikan memakai rumusan-rumusan
keagamaan khususnya bagi golongan santri. Untuk kaum komunis abangan, symbol-simbol
yang berasal dari sinkretisme dan kebudayaan tradisional Jawa adalah
pentingdalam pembentukan identitas mereka. Bagi tiap-tiap kelompok,
symbol-simbol penting lambat laun mewujudlan seluruh sprektum dari atribut yang
dianggap dimilikinya. Dari segi symbol masyarakat telah menjadi tempat berbeda
bagi kelompok penantang yaitu BTI. Alat partai NU yang dianggap paling efektif
untuk melancarkan oposisi terhadap pihak komunis adalah symbol-simbol
keagamaannya yang jelas. Dalam kasus tersebut symbol-simbol nasionalpun semakin
ditafsirkan dari segi tujuan kelompok-kelompok tertentu. Melihat perpecahan
yang terjadi antar kelompok berdasarkan masalah tanah, sikap masyarakat yang
biasanya diekspresikan akan digambarkan dengan singkat. Timbulnya simbo-simbol
keagamaan yang semakin banyak dan perannya dalam melihat konflik adalah cara
utama yang semakin banyak dan perannya dalam melihat konflik adalah cara utama
untuk mewujudkan perlawanan.
BAB VIII
PEMILIKAN TANAH DAN DIFERENSIASI MASYARAKAT DESA
Di
bawah tekanan jumlah penduduk yang bertambah dan sumber daya yang terbatas,
masyarakat desa Jawa tidak terbelah menjadi dua seperti yang terjadi di
negara-negara berkembang lainnya yaitu golongan tuan tanah besar dan golongan
tertindas yang hampir menjadi budak. Masyarakat desa itu sebaiknya tidak dibagi
ke dalam golongan kaya dan miskin melainkan dengan menggunakan istilah golongan
kecukupan dan kekurangan. Suatu kesimpulan dari hasil riset bahwa popularisasi
luas pemilikan tanah di kampung sangat meruncing bertentangan dengan gambaran
Geerzt. Pada prinsipnya hubungan antara buruh tani dan majikannya bebas dan
tidak tetap, yaitu pihak buruh tani mau bekerja dibawah siapa saja yang
membutuhkan tenaganya dan pihak majikan juga
menggunakan buruh siapa saja yang
mencari kerja. Para pemilik tanah yang luas
mengusahakan sawahnya dengan menggunakan
tenaga buruh tani. Dapat disimpulkan bahwa diferesiansi kedudukan
sosial ekonomi di antara penduduk desa
sangat jelas karena berhubungan erat dengan
polarisasi pemilikan tanah. Hal tersebut terjadi karena polarisasi dari
pengaruh komersialisasi pertanian terutama produksi tebu.
BAB
IX
SEGI
PENGUASAAN TANAH DAN DINAMIKA SOSIAL DI PEDESAAN JAWA
Hasil-hasil
penelitian atau pengalaman penelitian ini diperoleh bukan secara langsung,
lewat beberapa penelitian yang dilaksanakan di daerah pedesaan terutama di Jawa
Tengah. Ada beberapa alasan mengapa persoalan pemilikan dan penguasaan tanah di
daerah pedesaan dianggap layak untuk diperhatikan. Petama, telah diketahui
secara umum bahwa penduduk Jawa berkembang dengan cepat. Kedua, pengaruh
perekonomian uang yang mulai merembes ke daerah pedesaan disusuli oleh berbagai
akibat dalam hubungan sosial. Ketiga, masalah pemilikan dan penguasaan tanah di
daerah pedesaan ternyata menjadi salah satu sumber ketegangan sosial dan politik di daerah pedesaan.
Berbagai usaha telah dicobakan untuk mengatasi masalah ketidakmerataan
pembagian penguasaan tanah. Dan usaha mencapai titik tertinggi apabila UUPA
1960 dicanangkan.
Ada
4 sistem pemilikan tanah di Jawa, menurut Koentjaraningrat, yaitu: sisitem milik
umum atau komunal dengan pemakaian beralih, sistem milik dengan pemakaian
bergilir, sistem komunal dengan pemakaian tetap, dan sistem individu. Setelah
penghapusan cultuurstelsel pada tahun 1870 dan zaman penghisapan swasta
dimulai, terjadi juga perubahan-perubahan bentuk milik tanah lagi. Masyarakat Jawa juga mengenal sistem
Pelapisan Sosial yang didasarkan pada sistem kepemilikan kekayaan. Sehingga dibedakan antara orang kaya dan
orang miskin.
BAB
X
POLA
PENGUASAAN TANAH DAN REFORMA AGRARIA
Pandangan ekonomi
melihat tanah sebagai faktor produksi. Tetapi karena faktor produksi yang
berupa tanah itu makin lama makin
merupakan barang yang langka, maka perbandingan jumlah manusia dengan luas
tanah pertanian menjadi penting.
Perubahan pranata pedesaan itu juga menyangkut pola penguasaan
tanah. Ada yang menyatakan di Jawa bahwa
di pedesaan Jawa sedang berlangsung proses diferesiansi masyarakat atas dasar terjadinya konsentrasi
penguasaan tanah. Ada pendapat dari dua
Sarjana Jepang menyatakan bahwa ,
walaupun dengan tekanan penduduk yang
tinggi dan komersialisasi yang meningkat dapat dikatakan bahwa proses
polarisasi belum dianggap begitu nyata.
Terdapat bebrapa bentuk atau status penguasaan tanah tradisional adalah:
1.Tanah Yasan
2. Tanah Norowito
3. Tanah Titisara
4. Tanah Bengkok
2. Tanah Norowito
3. Tanah Titisara
4. Tanah Bengkok
Terdapat masalah
“individual” dan “komunal” ini menjadi penting setelah timbul dugaan bahwa
dengan diubahnya status tanah Norowito
dari “hak garap dengan kewajiban tertentu” menjadi “hak milik”, maka hak
milik dapat diperjual belikan secara bebas maka tanah akan menjadi meningkat.
Land
Reform dan Agrarian Reform secara etimologis, artinya sebidang tanah . Sistem
penguasaan tanah meliputi pengaturan-pengaturan secara legal maupun secara
adat. Sistem ini merupakan tatanan dan
presedur-prosedur yang mengarur hak-hak,
kewajiban-kewajiban, dalam walaupun Land
Reform bukan merupakan langkah yang cukup dan perlu disertai dengan
program-program yang lainnya, namun sering kali langkah itu sangat penting. Land Reform juga meliputi pengambilalihan
tanah secara paksaan, yang biasanya dilakukan oleh negara. penggunaan dan pengawasan atas sumber daya
tanah dan air.
Mengenai reforma agraria ini kita menyadari bahwa land reform itu dilaksanakan di mana-mana, karena hal itu merupakan kebutuhan yang objektif.
Mengenai reforma agraria ini kita menyadari bahwa land reform itu dilaksanakan di mana-mana, karena hal itu merupakan kebutuhan yang objektif.
BAB
XI
DINAMIKA
REFORMA AGRARIA DI INDONESIA SETELAH ORDE BARU
1. Secara
teoritk maupun praksis, kesediaan sebuah pemerintahan dalam suatu negara untuk
menjalankan reforma agraria tak akan terlepas dari geliat pengaruh dari
dinamika gerakan sosial ke agrariaan di negara tersebut.
2. Sekilas Politik dan Masalah Agraria
Pada tahun 1960 Republik Indonesia mempunyai undang-undang agraria sendiri yang dimaksudkan untuk mengakhiri politik agraria produk kolonial. Keberadaan UUPA telah menjadi dasar bagi penyediaan tanah untuk petani miskin di pedesaan, ketika UUPA dijalankan (1962-1964) terjadi aksi-aksi petani di berbagai penjuru Tanah Air. Keberadaan UUPA menjadi dasar bagi penyediaan tanah untuk petani miskin di pedesaan. Sejak Soeharto dan Rezim Orde Baru berkuasa (1966) pengkhianatan terhadap UUPA mulai berlangsung.
Pada tahun 1960 Republik Indonesia mempunyai undang-undang agraria sendiri yang dimaksudkan untuk mengakhiri politik agraria produk kolonial. Keberadaan UUPA telah menjadi dasar bagi penyediaan tanah untuk petani miskin di pedesaan, ketika UUPA dijalankan (1962-1964) terjadi aksi-aksi petani di berbagai penjuru Tanah Air. Keberadaan UUPA menjadi dasar bagi penyediaan tanah untuk petani miskin di pedesaan. Sejak Soeharto dan Rezim Orde Baru berkuasa (1966) pengkhianatan terhadap UUPA mulai berlangsung.
BAB
XII
DARI
OKUPASI TANAH MENUJU PEMBARUAN AGRARIA: Konteks dan Konsekuensi Dari Serikat
Petani Pasundan (SPP) di Garut Jawa Barat
Sejarah kehadiran SPP
dapat ditelusuri dari akhir tahun 1980an, pada tahun itu mulai terjadi
koalisi antara tokoh petani yang
komunitasnya berkonflik dengan Perhutani dan Perkebunan besar.. Aksi-aksi
Okupasi tanah sangat populer saat ini di kalangan aktivis agraria dengan
istilah reklaiming, dilakukan atas tanah-tanah yang pernah menjadi tanah
garapan penduduk. Dari setiapa wilayah yang menjadi basis lokal dari SPP,
dibentuk suatu kepemimpinan lokal yang mereka sebut sebagai organisasi tani
lokal (OTL). Dilaksanakan atau tidaknya
agrarian reform adalah sebagai berikut:
1. Agrarian Reform menciptakan pasar atau daya beli
2. Petani tanpa aset tanah sama saja dengan petani miskin yang tidak mampu menciptakan tabungan
3. Tanpa peningkatan ekonomi petani maka pajak petanian akan tetap minim
4. Tanpa agrarian reform maka tidak akan terjadi diferensiasi yang meluas.
1. Agrarian Reform menciptakan pasar atau daya beli
2. Petani tanpa aset tanah sama saja dengan petani miskin yang tidak mampu menciptakan tabungan
3. Tanpa peningkatan ekonomi petani maka pajak petanian akan tetap minim
4. Tanpa agrarian reform maka tidak akan terjadi diferensiasi yang meluas.
BAB XIII
GARIS-GARIS
BESAR ARGUMEN DALAM WACANA REFORMA AGRARIA
Setelah selesainya Perang Dunia II,
banyak negara nonkomunis yang
melancarkan program pembaruan agraria. Terdapat argumen para penolak reforma
agraria, alasan mereka menolak itu antara lain:
1. Tanah yang tersedia terbatas
2. kemajuan teknologi
3. untuk menjadi sejahtera yang penting bukan pemilikan faktor produksi
4. reforma agraria merupakan program berat.
Land Reform plus program penunjang inilah yang kemudian dikonseptualisasikan sebagai “agrarian reform”. Rasionalisasi dari perlunya RA. Mencakup 5 aspek:
1. aspek hukum akan tercipta kepastian hukum mengenai hak-hak rakyat
2. aspek sosial “keadila”
3. aspek politik “stabilitas”
4. Aspek psikologis
5. Aspek ekonomi
1. Tanah yang tersedia terbatas
2. kemajuan teknologi
3. untuk menjadi sejahtera yang penting bukan pemilikan faktor produksi
4. reforma agraria merupakan program berat.
Land Reform plus program penunjang inilah yang kemudian dikonseptualisasikan sebagai “agrarian reform”. Rasionalisasi dari perlunya RA. Mencakup 5 aspek:
1. aspek hukum akan tercipta kepastian hukum mengenai hak-hak rakyat
2. aspek sosial “keadila”
3. aspek politik “stabilitas”
4. Aspek psikologis
5. Aspek ekonomi
BAB XIV
STRATEGI
IMPLEMENTASI PROGRAM PEMBARUAN AGRARIA NASIONAL
Land reform diadakan
untuk mengikis sistem feodal, sistem liberal dan sistem kapitalisme atas
tanah. Pada akhir 1977 menjelang
Repelita ke-3 pemerintah Orde Baru telah mengalami kesulitan di bidang
pertanahan.
Kesimpulan dan saran kebijaksanaan dari dua menteri negara ialah:
a. bahwa UUPA 1960 dan UU no.56 masih tetap sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku
b. Perlu ada penegasan tentanf Struktur Panitia Land Reform, peradilan Landreform dan anggaran pembiayaannya
c. Peraturan Perundang-undangan agar tanah-tanah pertanian dikuasai atau di garap oleh dirinya sendiri
Pada tanggal 21 Mei 1979 diselenggarakan pertemuan kerja sebagai diperintahkan oleh MPR, tugas yang diprioritaskan adalah:
1. Tataguna tanah
2. Land Reform
3. Pengurusan Hak-hak tanah; perkebunan, PJKA, Pertam bangan dan kehutanan
4. Pendaftaran tanah
Yang terpenting adalah keputusan bahwa tanpa mengubah UUPA 1960, peraturan-peraturan pelaksanaan harus mengacu ke Undang-Undang.
Kesimpulan dan saran kebijaksanaan dari dua menteri negara ialah:
a. bahwa UUPA 1960 dan UU no.56 masih tetap sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku
b. Perlu ada penegasan tentanf Struktur Panitia Land Reform, peradilan Landreform dan anggaran pembiayaannya
c. Peraturan Perundang-undangan agar tanah-tanah pertanian dikuasai atau di garap oleh dirinya sendiri
Pada tanggal 21 Mei 1979 diselenggarakan pertemuan kerja sebagai diperintahkan oleh MPR, tugas yang diprioritaskan adalah:
1. Tataguna tanah
2. Land Reform
3. Pengurusan Hak-hak tanah; perkebunan, PJKA, Pertam bangan dan kehutanan
4. Pendaftaran tanah
Yang terpenting adalah keputusan bahwa tanpa mengubah UUPA 1960, peraturan-peraturan pelaksanaan harus mengacu ke Undang-Undang.
Komentar
Posting Komentar